Uninesia, Jakarta - Bangsa
Indonesia suka sekali dengan kata kedaulatan. Mungkin karena latar belakang
kita yang merdeka melalui pengorbanan jiwa dan harta. Sehingga tidak heran
kalau kita berhadapan dengan kepentingan asing, cepat atau lambat kata kedaulatan
pasti akan keluar. Apalagi ketika posisi kita terpojok, kata kedaulatan pasti
akan segera keluar sebagai senjata pamungkas.
Di sini kita tidak akan
bahas soal pergeseran makna kedaulatan dalam era globalisasi. Secara prinsip,
kita menyadari sepenuhnya adanya pergeseran itu. Apalagi kalau kita membahas
hukum di laut, tentu kita sama-sama tahu bahwa kedaulatan di laut tidak mutlak.
Mau suka atau tidak suka, hukum nasional, termasuk KUHAP yang selalu dijadikan
senjata pamungkas oleh salah satu aktor keamanan, harus menyesuaikan dengan
hukum internasional. Tapi masalahnya bukan di situ.
Kalau kita bilang kedaulatan
itu mahal, banyak pihak pasti akan setuju. Namun masalahnya adalah apakah
bangsa ini sudah menempatkan nilai mahal itu pada posisi sebenarnya. Maksudnya,
apakah kita punya guts atau will untuk menjaga kedaulatan itu at all cost and risk.......? Baik itu
dalam konteks fisik maupun non fisik. Sebagai contoh, kalau kedaulatan itu
memang kita junjung tinggi, kok selama ini kita nggak berani at all cost and risk bangun kemampuan
pertahanan.........? Sebagai alasan pemaaf, kita pakai kesejahteraan rakyat
sebagai tamengnya.
Pandangan demikian secara
logis mendikotomikan antara isu kesejahteraan vs keamanan. Kita butuh
dua-duanya, tidak bisa menghilangkan atau menganaktirikan salah satunya. Okelah
keterbatasan anggaran selalu alasan, tapi apa iya kita tak punya uang. Sebagai
contoh, kalau kita butuh kapal selam empat, kan pembayarannya tidak kontan.
Kita bisa pakai pembiayaan tahun jamak. Anggaran itu kan "ciptaan"
kita juga, kok kita kalah sama "ciptaan" kita sendiri..........?
Menurut kenyataan yang ada,
kendala yang sangat mendasar adalah kita ingin jadi anak manis di kawasan ini.
Ada rasa ewuh pakewuh terhadap
adik-adik di kawasan selama ini. Sekarang adik-adik itu udah kurang ajar sama
abangnya. Tapi abangnya cenderung diam, tidak berani "nyentil". Sang abang
terlalu naif dengan kemampuan diplomasinya. Seolah-olah diplomasi berdiri
sendiri tanpa dukungan dari instrumen lain. Si abang terlalu percaya bahwa
dengan diplomasi, tak ada pihak lain yang akan berani merugikan kepentingan
nasionalnya. Apa iya begitu..........???
Sekarang beberapa petinggi
kita senang berkoar soal soft power. Menurut
pemahaman saya, soft diplomacy itu
cuma terminologi manis dan indah saja. Karena pelaksanaannya juga didukung oleh
hard power. Contohnya Amerika Serikat
itu. Dia datang ke kita dengan soft power
untuk HADR/humanitarian
assistance and disaster relief. Means-nya
yah gugus tempur lautnya dia, seperti kapal induk dan segenap elemennya. Bukan
tentara yang datang pakai Hercules dan tanpa senjata. Mereka datang ke sini
dengan rules of engagement yang robust, walaupun misinya adalah kemanusiaan.
Jangan coba-coba dekati kapal mereka di tengah laut kalau nggak mau disiram
peluru.
Kembali ke soal semula,
sepatutnya kita bertanya pada diri sendiri, apakah betul kita sudah siap
menanggung konsekuensi menempatkan kedaulatan di atas segalanya.......?. Kedaulatan
itu ada harganya lho....., yaitu at all
cost and risk. Are we ready to take it..........???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar