Uninesia, Jakarta - Sejak
2004 kerjasama segitiga Angkatan Laut antara Indonesia, Malaysia dan Singapura
mengalami peningkatan seiring digelarnya Patkor
Malsindo. Tidak dapat dipungkiri bahwa Patkor Malsindo mampu mengurangi
secara tajam angka perompakan
dan pembajakan di Selat Malaka. Sekaligus bagi Indonesia, memulihkan
citranya di dunia internasional dalam bidang keamanan maritim.
Namun sadarkah kita, bahwa
kerjasama kita dengan dua Angkatan Laut lain itu memiliki sisi lain yang kita
rasakan dan kita alami sehari-hari (terlebih
lagi bagi rekan-rekan yang dinas di kapal). Yaitu masih ada masalah yang
mengganjal dalam hubungan dengan kedua negara. Bukan tidak mungkin, ganjalan
itu ke depan akan muncul jadi “riak”
di kawasan, walaupun mungkin tidak akan bereskalasi menjadi konflik militer
secara luas.
Ketika rekan-rekan kita di
Selat Malaka dan Selat Singapura berpatroli dengan kedua Angkatan Laut, di Laut
Sulawesi (Blok Ambalat),
rekan-rekan kita yang lain “berhadap-hadapan” dengan armada Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM).
Ketika rekan-rekan kita berlatih bersama dengan Singapura, ada rekan-rekan kita
lainnya yang berpatroli di perbatasan untuk cegah penyelundupan pasir, BBM,
cegah latihan ilegal di Laut Natuna.
Singkatnya, hal itu semua
kontradiktif sekaligus semu. Di satu sisi, kita jabat tangan, bahkan
rangkul-rangkulan dengan mereka. Kita duduk satu meja, makan bersama, bercanda
bersama. Namun pada waktu yang sama di sisi lain, kita berhadap-hadapan dengan
mereka dalam kondisi ”bermusuhan”.
Sebagai warga kawasan Asia
Tenggara, kita punya kepentingan bersama, di antaranya soal keamanan maritim.
Namun di sisi lain sebagai warga bangsa masing-masing, kita juga punya
kepentingan nasional yang tergolong vital dan tidak bisa ditawar-tawar.
Pesan
yang ingin disampaikan di sini, kerjasama antar Angkatan
Laut ketiga negara belum dibangun di atas dasar fondasi ketulusan (sincerity). Kenapa demikian......? Kita
punya latar belakang sejarah yang pengaruhi kerjasama dengan kedua negara. Kedua
negara pernah menjadi musuh kita dalam tahun 1960-an ketika Konfrontasi
dilancarkan. Rasa sakit hati, dendam mereka terhadap kita dapat dilihat dari
kekerasan hati mereka menggantung dua anggota KKO walau pemimpin nasional kita
saat itu sudah mintakan pengampunan dari sejawatnya di Singapura.
Mengapa kedua KKO digantung......?
Mereka ingin menunjukkan rasa takutnya terhadap kelihaian anggota KKO untuk
menyusup ke wilayah mereka. Bagi mereka aksi penyusupan itu tak terampuni,
sehingga harus digantung. Sebenarnya mereka takut dengan kita dan sampai
sekarang pun mereka masih takut. Ketakutan mereka bukan karena alutsista kita,
tapi lebih pada personel kita.
Oleh karena itu, merupakan
hal yang bagus ketika salah satu bagian Latgab TNI 2008 adalah latihan pasukan
khusus di Batam. Itu pesan politik yang sangat kuat buat Singapura. Dan pasti
mereka akan cermati latihan itu. Sudah seharusnya begitu.
Sampai sekarang, rasa sakit
hati, dendam, masih ada di hati mereka. Tak aneh bila mereka selalu berupaya
lecehkan kita, termasuk juga di laut. Alangkah naifnya bila kita terbuai dengan
pendekatan mereka yang manis kepada kita.
Kerjasama dengan dua negara
tetangga itu memang kita butuhkan. Namun sebaiknya kita memahami kondisi
psikologis yang pengaruhi hubungan dengan kedua negara. Hanya dengan demikian
kita akan sadar di mana posisi kita dan tak terbuai dengan kata-kata seperti
saudara serumpun, jiran, sahabat dan lain sebagainya. Ingat........., tidak ada saudara serumpun dalam kepentingan
nasional.............!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar