Uninesia, Jakarta - Dalam pembinaan dan
pembangunan kekuatan selama ini, kita sepertinya berada di lingkaran setan
antara kebutuhan Angkatan Laut, politik luar negeri pemerintah dan konstelasi
politik keamanan internasional. Jika kita perhatikan, ketiga hal
tersebut mulai tidak sinkron sejak awal 1990-an, tepatnya pasca insiden Santa Cruz, Dili 12 November 1991.
Seperti kita ketahui, setelah pasca 1965 Indonesia berpaling dari Blok Timur ke
Blok Barat, pengadaan Alat Utama Sistim Pertahanan (alutsista) Angkatan Laut relatif “mudah”, dalam arti syaratnya
tidak berat. Itulah yang dapat menjelaskan mengapa kita dapat korvet
kelas Fatahillah, selain kapal selam kelas U-209 dan fregat
Van Speijk.
Situasi mulai berubah awal
1990-an, ketika pemerintah kita saat itu “kurang bisa menyesuaikan diri” dengan
tatanan baru dunia pasca Perang Dingin. Amerika Serikat yang baru saja
memenangkan Perang Dingin dipimpin oleh generasi baby boomer dari Partai Demokrat yang mengusung nilai-nilai
demokratisasi, HAM dan lingkungan hidup. Berbeda di masa sebelumnya yang mana
negeri itu kebanyakan diperintah oleh Presiden dari Partai Republik (kecuali era Jimmy Carter) yang tidak
terlalu fokus kepada isu-isu tersebut. Sudah menjadi ciri Partai Republik bahwa
mereka lebih fokus pada isu keamanan nasional Amerika Serikat, sehingga mereka
akan berupaya mencapainya dengan cara apapun. Dan itu pun sampai sekarang bisa
kita saksikan dan rasakan bersama, semisal petualangan militer Amerika Serikat di
Afghanistan dan Irak yang melanggar semua hukum dan norma internasional.
Setelah Indonesia diembargo
sejak 1991 sampai November 2005, Amerika Serikat kembali berupaya merangkul
kita ke dalam kubunya. Tentu ada alasan kuat mengapa sekarang dia berpaling
kepada kita lagi, yaitu kepentingan untuk to
contain Cina. Demi kepentingan itu, Washington mengangkat sebagian embargo
senjata yang dijatuhkan. Namun untuk kategori lethal weapons, sepertinya negeri itu masih setengah hati.
Apa yang dia dapatkan dari
kebijakan itu.....?. Indonesia, seperti terlihat saat kunjungan Menteri
Pertahanan Robert M. Gates 22
Februari 2008 lalu, masih bersikap hati-hati atas tawaran Amerika Serikat untuk
menjual sejumlah alutsista yang tergolong lethal
weapons. Kehati-hatian itu salah satu pendorongnya adalah trauma terhadap
embargo di masa lalu, karena sampai kini Gedung Putih tidak bisa menjamin bahwa
di masa yang akan datang kita tak akan diembargo lagi. Seperti kita sama-sama
tahu, konstelasi politik di Washington juga dipengaruhi oleh sikap para
penghuni The Capitol Hill alias
Kongres.
Mari kita bertanya, mengapa
Gedung Putih tidak bisa memberikan jaminan......?. Sepanjang perjalanan waktu,
dalam hubungan dengan negara asing, Amerika Serikat membagi negara-negara itu
dalam kategori allies, friends, partners dan adversaries. Terhadap
negara yang digolongkan sebagai allies, Washington akan memberikan hampir semua teknologi senjata yang dia
punyai melalui program ekspor. Contohnya adalah teknologi Aegis yang diberikan kepada Australia,
Norwegia, Spanyol, Jepang dan Korea Selatan. Namun tidak semua
teknologi dapat diakses, karena ada teknologi-teknologi yang top secret yang tidak bisa diberikan
walaupun kepada allies. Misal
teknologi stealth.
Singkatnya, ada perbedaan
perlakuan terhadap allies, friends
dan partners. Lalu pertanyaannya, di
mana sih posisi kita di mata Amerika Serikat.....?. Kalau melihat perlakuan
negeri itu terhadap kita dan pernyataan sejumlah pejabat teras Amerika Serikat yang
lalu seperti Presiden George Bush,
Menteri Luar Negeri Condolezza Rice
dan Menteri Pertahanan Robert M. Gates
(dan sebelumnya Donald Rumsfeld) saat
mereka berkunjung ke Indonesia, kita nampaknya ditempatkan sebagai partners.
Kalau begitu, bukan suatu
hal yang aneh bila Washington ”agak
pelit” kepada kita dalam soal alutsista. Bandingkan dengan Singapura yang
dengan begitu mudah dapat F-15 SG, AH-64
Longbow Apache maupun F-16C. Juga
tak ada keberatan dari Washington ketika negeri kecil yang licik dan rakus itu
membeli fregat kelas Lafayette dari Prancis. Bandingkan
dengan keberatan Washington ketika kita ingin melengkapi korvet Sigma dengan rudal
Exocet MM-40, dengan alasan di dalam rudal itu ada komponen buatan Amerika
Serikat.
Belum lagi kalau kita tinjau
rimba senjata internasional. Di rimba itu ada bermacam peraturan yang mengatur
peredaran senjata konvensional kaliber besar di dunia. Ada tujuh jenis senjata
yang diatur peredarannya oleh negara-negara maju bersama PBB, termasuk di
dalamnya kapal perang. Nama programnya adalah UNROCA (U.N. Register on Conventional Arms). Sesuai ketentuan UNROCA,
negara eksportir dan importir senjata wajib laporkan transaksi kepada PBB,
biasanya dalam bentuk laporan tahunan.
Selain UNROCA, ada pula MTCR
(missile transfer control regime)
yang beranggotakan 34 negara. Lewat MTCR diatur penjualan rudal di dunia,
khususnya yang punya daya jangkau di atas 300 km. Sebagai informasi, rudal Yakhont itu daya jangkaunya sudah hampir
mencapai pagu MTCR.
Menghadapi kondisi yang
kurang menguntungkan bagi pembinaan dan pembangunan kekuatan itu, kita
berpaling ke Rusia. Selain itu, ada keinginan kuat dari pemerintah untuk
memberdayakan industri pertahanan dalam negeri. Semua itu didasari oleh
kebutuhan kita.
Terkait dengan industri
pertahanan dalam negeri, masalahnya adalah seberapa siap mereka untuk mendukung
kebutuhan Angkatan Laut khususnya. Dan Oke-lah PT. PAL bisa bikin kapal,
tapi dia kan hanya siapkan platform-nya, sementara senjata dan sistem
elektronikanya tetap harus mengandalkan pasokan dari Eropa. Belum lagi soal
interface antara senjata
dan sistem elektronika, yang masih mengandalkan pihak pabrikan Eropa.
Ketika kita menyentuh soal ekspor senjata dan sistemnya dari Eropa, lampu
kuning mulai menyala. Artinya, kesempatan kita memperoleh senjata dan teknologi
yang kita inginkan 50-50. Kalau Washington kasih lampu hijau, kita dapat. Kalau
kasih lampu merah, Eropa menurut.
Secara realitas, kita masih
ragu akan kemampuan industri pertahanan dalam negeri untuk mendukung alutsista Angkatan
Laut, khususnya kapal perang sampai 15 tahun ke depan. Masalahnya bukan sekedar
teknologi, tapi juga pendanaan. Seperti kita sama-sama tahu, saat ini APBN
harus dibagi-bagi ke lebih banyak instansi dibanding 15 tahun lalu. Perusahaan
seperti PT. PAL sulit untuk produksi alutsista tanpa uang muka. Dan yang
menentukan turun tidaknya uang muka kan bukan di Cilangkap atau Merdeka Barat,
tapi di Lapangan Banteng. Sementara proposal yang antri minta pendanaan di sana
kan juga bertumpuk.
Ada pula pemikiran untuk
alih teknologi. Alih teknologi dalam prakteknya nyaris mustahil untuk terjadi,
kalau tidak mau dikatakan tidak mungkin. Karena itu menyangkut keuntungan
bisnis sekaligus pertimbangan politik. Negara-negara maju tak akan pernah
memberikan teknologi senjata mereka kepada negara-negara berkembang. Alasannya
sederhana, jangan-jangan teknologi itu digunakan buat pukul balik mereka
nantinya. Berikut, pasar senjata mereka bisa tergerus bila ada alih teknologi. Teknologi
harus direbut, termasuk dengan mencuri sekalipun. Jangan pernah harapkan
mereka akan kasih ke kita.
Jadi, jalan kita untuk
mandiri di bidang alutsista masih panjang, sedangkan kebutuhan di lapangan
terus mendesak. Sangat sulit untuk tidak menggunakan alutsista lama dalam
kondisi seperti ini. Karena yang dipertaruhkan adalah martabat dan wibawa
bangsa ini, termasuk juga kedaulatan. Jangankan negara adidaya, negeri-negeri
kecil di sekitar kita sekarang sudah berani melecehkan kita.
So...
what is the solution.....? The only best choice between the worst is to redefine
our foreign policy. More than 60 years ago, our founding father Mohammad Hatta
said that our foreign policy should always serve our national interests. That’s
why we choose free and active policy in order to respond the international
system prevailed at the time being. Today Indonesia lives on this globalized
world, a world that different from Hatta’s days. Does our foreign policy still
serve our national interests on current context.......???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar