Uninesia, Jakarta - Buat
sebagian dari kita, transformasi Angkatan Laut (naval transformation) mungkin merupakan hal baru dan juga bahkan
istilah baru. Transformasi Angkatan Laut yang kini sudah dilakukan oleh banyak Angkatan
Laut di dunia merupakan dividen dari berakhirnya Perang Dingin. Lingkungan
strategis yang berubah menuntut Angkatan Laut untuk menyesuaikan diri, termasuk
dalam bidang operasi. Terlebih lagi ketika Revolution in Military Affairs
(RMA) yang digagas pada awal 1980-an oleh militer Uni Soviet dan diadopsi oleh
militer Amerika Serikat, makin mendapat tempat untuk diterapkan pasca Perang Dingin.
Sepanjang pengetahuan saya
saya, tidak ada definisi tunggal mengenai apa yang dimaksud transformasi Angkatan
Laut. Saya sendiri memahami transformasi Angkatan Laut sebagai penerapan RMA di
dalam organisasi Angkatan Laut, yang berimplikasi pada banyak hal di dalam Angkatan
Laut itu sendiri. Sebab RMA mempengaruhi baik doktrin, operasi dan organisasi.
Apa itu RMA? Banyak pihak
mendeskripsikan RMA sebagai perubahan discontinuous atau disruptive dalam
konsep dan moda peperangan. Dikatakan discontinuous atau disruptive karena
karakter dan pelaksanaan perang tidak berjalan sebagaimana seharusnya (evolutif) dengan ditemukannya teknologi
baru yang kemudian diaplikasikan pada penciptaan sistem senjata baru yang daya
rusak dan daya jangkau lebih besar, lebih jauh dan lebih akurat (revolutif).
RMA telah dimulai sejak abad
ke-15, di mana pelaksanaan perang telah delapan kali bertransformasi, enam di
antaranya terjadi dalam 200 tahun terakhir. Yaitu revolusi Napoleon; revolusi
kereta api, senapan dan telegraf; revolusi kapal perang Dreadnought/kapal selam; peperangan lapis baja/superioritas udara;
kekuatan udara Angkatan Laut; dan revolusi nuklir.
Penerapan RMA dalam
organisasi pertahanan dan militer mendorong terjadinya transformasi pertahanan.
Soal terminologi RMA dan transformasi pertahanan, memang masih menjadi silang
sengketa di antara pihak-pihak tentang penggunaan kedua terminologi itu. Ada
pihak yang berpandangan bahwa transformasi pertahanan adalah nama lain dari
RMA, sementara ada pula pendapat bahwa transformasi pertahanan adalah proses
pengimplementasian RMA. Saya sendiri memahami RMA adalah bagian tak terpisahkan
dari transformasi pertahanan, di mana transformasi pertahanan tujuan akhirnya
adalah menciptakan kekuatan pertahanan dan militer yang mampu mengamankan
kepentingan nasional.
Ada lima karakteristik
kekuatan pertahanan dan militer yang telah mengalami transformasi, yaitu (i) Command, Control, Communications, Computers, Intelligence, Surveillance
and Reconnaissance (C4ISR), senjata dan platform yang terkoneksi dalam jaringan,
(ii) shared situational awareness,
(iii) more accurate and standoff
engagement, (iv) ketangkasan, kecepatan, kemampuan pengerahan yang cepat
dan fleksibilitas, dan (v) jointness and
interoperability.
RMA punya kaitan dengan
teknologi informasi, karena adanya teknologi informasi-lah yang memunculkan RMA
seperti yang ada saat ini. Sehingga lahirlah salah satu anak dari RMA yaitu network-centric warfare. Penerapan RMA
yang berbasis teknologi informasi pada akhirnya akan menyentuh aspek doktrin,
operasi dan organisasi pertahanan dan militer.
Begitu pula yang terjadi
pada banyak Angkatan Laut di dunia, di mana transformasi pertahanan melalui
penerapan RMA pada akhirnya mendorong terjadinya transformasi Angkatan Laut.
Transformasi Angkatan Laut yang terjadi mencakup aspek doktrin, operasi dan
organisasi.
Transformasi U.S Navy ditandai dengan perubahan
doktrin dari Forward… from The Sea menjadi
Seapower 21. Komponen utama Seapower 21 adalah sea strike, sea shield dan sea
basing yang disatukan oleh network-centric
melalui ForceNet, yaitu jaringan
komputer terintegrasi yang menghubungkan semua pendirat dan armada Angkatan
Laut. Doktrin Seapower 21 memfokuskan
operasi pada littoral warfare, karena
naval warfare akan (lebih banyak) terjadi di littoral
daripada di tengah laut seperti pada masa lalu (ingat perubahan filosofi dari what we can at sea menjadi what we can do
from sea to shore/littoral). Doktrin itu kemudian dituangkan ke dalam aspek
operasional yaitu Naval Operation Concept.
Transformasi diikuti dengan
perubahan organisasi, misalnya pembentukan U.S.
Navy Expeditionary Combat Command. Pembentukan komando itu tidak lepas
konteks strategis saat ini yang menempatkan kekuatan maritim, khususnya Angkatan
Laut, pada peran yang kritis. Sebagai kekuatan militer yang dapat beroperasi
mandiri dan dalam jangka waktu lama meskipun jauh dari pangkalan induk dan atau
negara induk, kekuatan Angkatan Laut senantiasa menjadi pilihan utama dan
pertama bagi banyak negara untuk merespon instabilitas keamanan global dan
regional.
Selain Amerika Serikat, Bundesmarine alias Angkatan Laut Jerman
adalah contoh lain dari Angkatan Laut yang telah melakukan transformasi menjadi
kekuatan ekspedisionari. Transformasi Bundesmarine
tidak lepas dari perubahan lingkungan strategis, yang mana pada era Perang
Dingin tugas utamanya adalah menghadapi kekuatan Pakta Warsawa di Laut Baltik,
kini berubah menjadi kekuatan ekspedisionari untuk mendukung misi NATO.
Bundesmarine saat ini menjadi salah satu unsur dalam UNIFIL MTF di Lebanon
pasca Perang Hizbullah-Israel pada bulan Juli-Agustus 2006.
Perlu diketahui bahwa
transformasi Angkatan Laut di negara-negara itu mempengaruhi sampai pada jenis
kapal perang yang dibutuhkan. U.S. Navy misalnya, ciptakan LCS. Bundesmarine buat kapal kelas korvet
kelas Braunschweig (yang kemampuannya sekelas fregat, cuma
namanya saja korvet).
Secara singkat, dapat
disimpulkan bahwa transformasi Angkatan Laut mempengaruhi pula aspek operasi,
di mana naval expeditionary operations
kembali ditekuni dan dilaksanakan lebih sering dibandingkan sebelumnya. Pilihan
mengapa Angkatan Laut senantiasa menjadi pilihan pertama dalam operasi
ekspedisionari tidak lepas dari kemampuan kekuatan maritim untuk melakukan naval presence. Hampir tidak ada contoh
di mana dalam merespon perkembangan situasi krisis di suatu kawasan dunia,
negara-negara lain mengirimkan kekuatan selain kekuatan maritim ke wilayah
krisis. Dengan makin kritisnya peran kekuatan maritim dalam menangani berbagai
instabilitas dunia, tidak heran bila saat ini negara-negara maju mencitrakan
kekuatan lautnya dengan slogan seapower
is a force for good.
Dalam perkembangan strategi
maritim di Barat, aliran yang berkembang mengedepankan penggunaan kekuatan laut
masa kini untuk mempromosikan keamanan dan kesejahteraan di seluruh dunia.
Pemikiran demikian sebenarnya hanya varian
dari pemikiran klasik strategi maritim, karena penggunaan kekuatan laut suatu
negara pada dasarnya bertujuan untuk mengamankan kepentingan nasional. Hanya
saja dalam era kemajuan teknologi komunikasi dan informasi saat ini, tujuan
tersebut harus dikemas sebagus, secantik dan sehumanis mungkin guna mengurangi sikap
resistensi dari pihak-pihak lain.
Slogan tersebut mempunyai
dua sisi, yaitu pada satu sisi tidak dapat diingkari adanya kepentingan politik
dan ekonomi negara-negara maju sebagai faktor penggerak di balik operasi
ekspedisionari Angkatan Laut. Karena bagaimana pun Angkatan Laut adalah salah
satu instrumen kekuatan nasional yang dapat disebar ke mana saja setiap saat
tanpa harus khawatir akan timbulnya implikasi diplomatik. Namun di sisi lain,
hendaknya dipahami pula bahwa operasi bantuan bencana alam seperti yang
dilaksanakan oleh U.S. Navy di Aceh
juga termasuk dalam operasi ekspedisionari Angkatan Laut, sehingga dalam batas
tertentu slogan seapower is a force for
good memang ada benarnya.
Meningkatnya frekuensi
operasi ekspedisionari Angkatan Laut membuat beberapa negara melakukan
penyesuaian pada strategi maritimnya, khususnya tentang kemampuan operasi. Bila
di masa lalu core capabilities Angkatan Laut meliputi naval presence, sea control, sea denial dan power projection, kini ditambah dengan maritime security dan humanitarian assistance and disaster relief.
Contohnya adalah Amerika Serikat, yang merancang core capabilities kekuatan maritimnya meliputi forward presence, deterrence, sea control, power projection, maritime
security dan humanitarian assistance
and disaster relief.
Pertanyaannya, bagaimana
dengan di Indonesia? Transformasi pertahanan di negeri tercinta ini sepertinya
masih merupakan hal baru dan seringkali dicampur adukkan dengan reformasi
pertahanan. Padahal proses dan keluaran keduanya sama sekali berbeda, yang mana
cakupan reformasi pertahanan terbatas pada isu demokrasi, sementara
transformasi pertahanan cakupannya mulai dari tataran kebijakan pertahanan
hingga tingkat taktis dan teknis operasional militer. Transformasi pertahanan
tak mempunyai hubungan langsung dengan sistem politik, karena transformasi
dapat dilaksanakan di negara-negara yang tidak demokratis, seperti Cina dan
Singapura.
Dalam ruang lingkup yang
lebih kecil, transformasi Angkatan Laut dapat dimulai dari aspek sumber daya
manusia. Kebijakan pengadaan sejumlah alutsista yang mengusung teknologi lebih
maju dan modern dibandingkan alutsista sebelumnya dapat menjadi embrio awal
transformasi Angkatan Laut. Pengadaan tersebut secara tidak langsung dapat
mendorong Angkatan Laut kita untuk mulai meninjau kembali doktrin, operasi dan
organisasi yang telah sebelumnya, karena filosofi alutsista tersebut berbeda
dengan alutsista era sebelumnya. Alutsista yang akan mengisi order of battle Angkatan
Laut kita ke depan sebagian di antaranya berciri-ciri (i) pengawakan makin
sedikit (fewer crew), (ii) otomasi meningkat, (iii) rancang bangunnya untuk era
network-centric warfare.
Masuknya alutsista baru,
apalagi bila berasal dari negara-negara yang berbeda secara teknologi dan
filosofi militer, menuntut kreativitas dari personel Angkatan Laut kita untuk
memadukannya pada aspek operasional sehingga terjadi interoperability. Bukan tidak
mungkin masuknya alutsista baru menuntut perubahan doktrin, strategi, taktik,
teknik dan prosedur, karena semua itu sifatnya dapat berubah. Apabila doktrin,
strategi, taktik, teknik dan prosedur terus dipertahankan secara kaku (text-book) tanpa memperhatikan
perkembangan teknologi, bukan tidak mungkin hal itu justru akan menjadi blunder
di lapangan.
Oleh sebab itu, menurut
saya, sumber daya manusia yang inovatif dan mampu mengikuti perkembangan
teknologi militer sekaligus memahami aspek operasional Angkatan Laut sangat
dibutuhkan. Karena dengan demikian, diharapkan doktrin, strategi, taktik,
teknik dan prosedur akan tidak ketinggalan oleh kemajuan teknologi militer yang
begitu cepat. Sebagai contoh adalah masuknya unsur helikopter dalam operasi
amfibi pada U.S Marines Corps, yang
berujung pada lahirnya taktik Ship-to-Objective
Maneuver (STOM), sehingga operasi amfibi masa kini tidak harus selalu
merebut tumpuan pantai sebelum bermanuver lebih jauh ke daratan.
Saat ini Angkatan Laut di
sekitar kita seperti Tentara Laut Diraja
Malaysia (TLDM) dan Royal Singapore
Navy (RSN) terus melaksanakan transformasi sesuai dengan roadmap mereka?
Keluaran dari transformasi itu adalah mereka makin kuat dan makin berani
melecehkan kita di laut. So...transformasi Angkatan Laut merupakan sebuah arus
jaman yang hendaknya kita ikuti, agar dapat menjadi kekuatan yang mempunyai
deterrence dan daya pukul serta diperhitungkan di kawasan Asia Pasifik. Kata
kunci transformasi Angkatan Laut adalah kemauan untuk mengubah paradigma dalam
memandang jalannya peperangan laut ke depan yang sudah bergeser ke littoral warfare.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar