Uninesia, Jakarta - perkembangan
pembangunan kekuatan Angkatan Laut di kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia
Tenggara, kita perlu khawatir dengan kecenderungan yang dialami Indonesia.
Khawatir karena dari segi fisik, ada kemunduran yang sepertinya akan terus
terjadi setidaknya hingga dua puluh tahun ke depan. Ketika negara-negara lain
di kawasan ini capital ship-nya kian
meningkat, kita malah kian menurun.
Apa yang terjadi sekarang......?.
Ketika tingkat kemiskinan, pendapatan perkapita di atas US$ 1.000 dan melek
huruf bangsa Indonesia jauh lebih baik dibanding era 1960-an, Angkatan Laut
kita malah mengalami kemunduran dari 1960-an. Tahun 1980-an pemerintah masih sanggup
biayai Angkatan Laut untuk pengadaan fregat
(walaupun fregat bekas). 20 tahun
setelah itu, pemerintah hanya sanggup biayai pengadaan korvet. Apakah 20 tahun ke depan pemerintah kita hanya sanggup
biayai pengadaan PC........???
Menurut kajian strategis,
pengadaan kapal jenis fregat
merupakan kebutuhan Angkatan Laut. Karena sebagian perairan kita sea state-nya di atas 3 yang tidak
menguntungkan bila pakai kapal yang lebih kecil. Kalau dipaksakan sih bisa,
tapi fokus komandan kapal dan awaknya bukan lagi pada operasi, tapi pada
keselamatan awak dan material.
Pertimbangan lainnya, Angkatan
Laut punya fungsi diplomasi yang akan terus melekat sampai kapan pun.
Untuk melaksanakan itu, masak kita pakai kapal PC......???. Mau ditaruh di mana
muka republik ini.......!!!. Republik ini luas wilayahnya tidak sekecil
Singapura, tapi terbentang dari timur ke barat setara jarak pantai timur ke
pantai barat Amerika Serikat. Singapura saja yang luasnya cuma seukuran Jakarta
capital ship-nya fregat Lafayette, terus apakah pantas republik ini Angkatan Laut -nya
cuma diperkuat oleh PC nantinya sebagai capital
ship.........???
Kita mesti beranggapan bahwa
stabilitas kawasan Asia Tenggara ditentukan oleh stabilitas Indonesia, karena
dua pertiga kawasan ini adalah yurisdiksi kita. Apakah mungkin menjaga
stabilitas itu pakai PC nantinya, sementara yang dihadapi mulai dari fregat sampai kapal induk. Harap
diingat, pada tahun 1992 ketika digelar KTT ASEAN di Manila, kita deploy KRI kelas Fatahilah (FTH) ke
Teluk Manila untuk amankan pimpinan nasional kita yang ikut KTT. Waktu itu di
Filipina kondisi politiknya sedang tidak stabil karena sedang wabah kudeta.
Sangat disayangkan, catatan emas itu sepertinya kurang tercatat dalam sejarah
republik ini.
Deployment KRI
kelas FTH selain merupakan fungsi diplomasi, juga menunjukkan siapa Indonesia
di kawasan. Apa yang kita lakukan saat itu tidak beda dengan apa yang
dilaksanakan Amerika Serikat sepanjang tahun sejak akhir Perang Dunia Kedua
hingga detik ini, yaitu diplomasi Angkatan Laut yang berisikan pesan
kepentingan nasionalnya.
Sebagian pihak menganggap
bahwa pengadaan kapal fregat ke atas
mahal biayanya. Pemikiran demikian boleh-boleh saja, tapi mana yang lebih mahal
dengan martabat dan harga diri bangsa......???. Anggaran itu bisa
diciptakan kok, soal mahal atau tidak itu relatif. Kita hendaknya jangan
terjebak pada anggaran.....!!!. Kalau kita mau berfikir realistis, mengapa
terjadi kemunduran dalam hal jenis kapal perang yang perkuat Angkatan Laut
kita, itu karena pemerintah kurang punya political
will untuk bangun Angkatan Laut. Itu masalahnya......!!!. Bukan soal masih
banyak penduduk miskin, pendapatan perkapita rendah, anggaran terbatas dan
lain-lain. Ingat, APBN kita tahun
2008 saja Rp.800 trilyun. Waktu jaman pemerintahan Bung Karno memodernisasi Angkatan
Laut kita di awal 1960-an, dugaan saya APBN masih pada kisaran puluhan juta
rupiah saja, paling tinggi ratusan juta rupiah. Maaf, saya belum dapat data
lengkap APBN kita di era itu.
Memang betul bahwa modernisasi
Angkatan Laut saat itu terkait dengan kondisi politik untuk satukan wilayah
Nusantara di bawah Merah Putih. Artinya, ada imminent threat, ada kebutuhan mendesak. Pertanyaannya, apakah
kondisi sekarang tidak masuk kategori kebutuhan mendesak.....???. Keutuhan
wilayah kita terancam (Ambalat, masalah
perbatasan dengan Singapura), kerugian negara dari pencurian kekayaan laut
sekitar US$ 25-30 milyar, belum lagi kegiatan lain di laut yang dilakukan oleh
pihak asing yang pada dasarnya dapat dikategorikan melecahkan kita, jadi.....tidak bisa
dikategorikan sebagai kebutuhan mendesak lagi.........???
Keliru jika kita berpikir
bahwa memperkuat militer, khususnya Angkatan Laut, kalau sudah ada ancaman
nyata. Memangnya kita beli kapal perang seperti belanja di pasar atau
supermarket, barangnya sudah tersedia, tinggal kita bayar dan ambil bawa
pulang. Itu baru dari sisi ketersediaan barang. Belum lagi ketika masuk aspek
politik, siapa kawan yang jual kapal perangnya ke kita......???. Bung Karno hebat karena dia rangkul Uni
Soviet, sehingga Angkatan Laut kita diperhitungkan di kawasan. Pak Harto,
beliau bisa rangkul Amerika Serikat, sehingga Angkatan Laut kita tetap
diperhitungkan. Sekarang kita mau rangkul siapa.....???. Sangat kita khawatirkan,
karena kita tidak bisa rangkul siapa-siapa, kekhawatiran bahwa 20 tahun ke
depan pemerintah cuma bisa biayai pengadaan PC buat Angkatan Laut kita akan
menjadi kenyataan.....!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar