Uninesia, Jakarta - Seseorang
belum lama ini pernah bertanya sama saya, tentang sejauh mana pembahasan konsep
Kodahan? Saya cuma bisa jawab, saya kurang tahu. Terus saya balik bertanya,
istilah yang dipakai itu Kodahan
atau Kowilhan?
Saya bertanya begitu karena ada kawan lainnya yang bilang istilahnya adalah
Kowilgab.
Okelah, masalah nama tak
usah terlalu diperdebatkan. Yang penting bagaimana substansinya. Yang pasti
entah itu Kowilhan, Kodahan atau Kowilgab, organisasi itu merupakan regional combatant command. Regional
combatant commander itu terminologi yang dipakai oleh Amerika Serikat
untuk menyebut operational theater
alias mandala operasi mereka.
Kalau kita berdiskusi
mengenai suatu organisasi, orang bijak mengajarkan bahwa pertanyaan pertama
yang harus diajukan adalah apa tujuan (objective)
dari organisasi itu. Dalam konteks Kowilgab/Kodahan/Kowilhan, apa tujuan
politiknya (political objective) dan
apa tujuan militernya (military objective).
Secara teoritis, tujuan
politik pembentukan Kowilgab/Kodahan/Kowilhan akan terkait dengan arsitektur
pertahanan Nusantara untuk menghadapi spektrum tantangan yang kian
kompleks. Sedangkan tujuan militernya adalah menyiapkan pengorganisasian
satuan tempur matra Angkatan di beberapa mandala yang berbeda.
Dua tujuan tadi adalah
tinjauan secara teoritis. Bagaimana praktisnya, kita harus melihat dokumen yang
diterbitkan oleh Departemen Pertahan dan Mabes TNI. Pertanyaannya, sudah adakah
dokumen-dokumen itu.....? Kita khawatir dokumen itu kalaupun ada, kerangka
dasar pemikirannya masih menggunakan bingkai Perang Dingin yang sudah tidak relevan dengan masa kini.
Berikutnya, entah itu
Kowilgab/Kodahan/Kowilhan pasti sentuh soal-soal authority, chain of command, command
and control, area of responsibility, geographical consideration, strategic
context, interoperability ketiga matra TNI dan potensi pertahanan lainnya, battlespace situation dan sensing-mobility-fire power-C4ISR.
Komando dalam konteks
Kowilgab/Kodahan/Kowilhan pasti terkait dengan konstruksi manajemen dan
strategi pertahanan. Sebab secara garis besar, eksistensi organisasi itu
terkait dengan kebijakan pertahanan yang diatur oleh pemerintah (dhi Menteri Pertahanan). Menteri
Pertahanan, sesuai dengan Undang-undang No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara, mempunyai kewenangan untuk mengatur arsitektur pertahanan.
Saat ini Indonesia telah
mempunyai strategi pertahanan, lepas dari setuju atau tidak setuju dengan
isu dokumennya. Dengan adanya strategi
pertahanan, maka strategi pertahanan
yang dirumuskan oleh Mabes TNI lebih merupakan strategi TNI yang tidak dapat
mengikat pihak lain di luar TNI. Sebab strategi
pertahanan adalah kewenangan Departemen Pertahanan.
Dikaitkan dengan
Kowilgab/Kodahan/Kowilhan, di mana nantinya letak organisasi itu dalam konteks strategi pertahanan....!!!. Strategi pertahanan yang dimaksud
adalah yang mengikat dan melibatkan segenap komponen pertahanan, bukan
TNI saja. Dalam konstruksi manajemen dan strategi pertahanan yang sudah baku di
negara-negara lain, eksistensi organisasi serupa Kowilgab/Kodahan/Kowilhan
diatur oleh Menteri Pertahanan, bukan oleh Panglima Angkatan Bersenjata atau
Ketua Kepala Staf Gabungan. Kalau nantinya organisasi mandala operasi ada di
bawah Mabes TNI, hal itu sebenarnya tidak tepat karena bukan kewenangan
Panglima TNI untuk mengatur semua urusan pertahanan.
Karena
Pangkowilgab/kodahan/kowilhan adalah tangan kanan Menteri Pertahanan dalam
bidang operasional, di mana Pangkowilhan tidak dapat mengerahkan dan menggunakan
kekuatannya tanpa arahan dari Menteri Pertahanan. Deployment dan employment
kekuatan militer harus berdasarkan kebijakan politik pemerintah, bukan otoritas
Panglima militer sendiri.
Saat ini manajemen
pertahanan kita belum tertata sebagaimana mestinya, di mana terkesan bahwa
kebijakan operasional (TNI) seolah-olah terlepas atau terpisah dari kebijakan
politik pemerintah. Hal ini dicerminkan oleh hubungan antara Menteri Pertahanan-Panglima
TNI. Menteri Pertahanan sebagai pembantu Presiden di bidang pertahanan
memiliki tugas membuat kebijakan pertahanan (termasuk di dalamnya pembangunan kekuatan) dan kekuatan yang
dibangun selanjutnya akan digunakan oleh Panglima TNI.
Namun penggunaan kekuatan
yang dilakukan oleh Panglima TNI tidak dipertanggungjawabkan kepada Menteri
Pertahanan, melainkan langsung kepada Presiden. Di sinilah anomalinya,
sehingga sangat beralasan untuk menyimpulkan bahwa kebijakan operasional (TNI)
seolah-olah terlepas atau terpisah dari kebijakan politik pemerintah.
Pola demikian kalau ditinjau
dari perspektif manajemen sudah pasti keliru, karena secara politik Menteri
Pertahanan adalah pembantu tunggal Presiden di bidang pertahanan dan semestinya
Panglima TNI bertanggungjawab kepada Menteri Pertahanan. Menteri Pertahanan
adalah pejabat yang diangkat secara politik (political appointee), berbeda dengan jabatan Panglima TNI yang
merupakan jabatan karir (walaupun ada
salah kaprah harus fit and proper test di DPR).
Kalau nantinya Mabes TNI
secara sepihak membentuk Kowilgab/Kodahan/Kowilhan dan menempatkannya di bawah
komandonya, susah untuk tidak mengatakan bahwa Mabes TNI telah mengambil alih
kewenangan dan fungsi Departemen Pertahanan. Garis Komando
Kowilgab/Kodahan/Kowilhan tidak dapat begitu saja dipisahkan dari kebijakan
politik pemerintah, karena masalah pertahanan bukan wewenang prerogatif Mabes
TNI. Meskipun TNI adalah komponen utama pertahanan, tetapi juga harus disadari
bahwa TNI hanya satu dari dari sekian unsur dalam masalah pertahanan.
Perlu kita sadari pula bahwa
kewenangan Mabes TNI dalam isu Kowilgab/Kodahan/ Kowilhan hanyalah sebatas
mengusulkan pembentukan Kowilhan kepada Menteri Pertahanan. Menteri Pertahanan
yang akan memutuskan apakah akan membentuk Kowilhan atau tidak, berdasarkan
berbagai pertimbangan. Apabila mengikuti tataran kewenangan dalam pertahanan,
maka Kowilhan harus berada di bawah Menteri Pertahanan selaku otoritas politik
di bidang pertahanan.
Berikutnya soal pertimbangan
yang melatarbelakangi pembagian area of
responsibility. Apa yang menjadi driving
factor dalam pembagian area of
responsibility.........?. Apakah berdasarkan realita geografis di lapangan,
pertimbangan lingkungan strategis ataukah berdasarkan “aspirasi politis”........?
Secara geografis,
Indonesia terbagi atas empat kompartemen strategis yang didasarkan pada pembagian
ALKI Utara-Selatan. Dari empat kompartemen strategis tersebut, ada
kompartemen strategis yang merupakan perpaduan antara wilayah daratan dan
perairan, ada pula kompartemen strategis yang didominasi oleh wilayah
perairan. Dari semua kompartemen strategis, setidaknya ada satu kesamaan
yaitu berbatasan langsung dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.
Ditinjau dari perkembangan lingkungan
strategis, ada kompartemen strategis yang berhadapan langsung dengan kekuatan-kekuatan
regional, ada pula kompartemen strategis yang berinteraksi langsung dengan kekuatan
adidaya. Soal isu keamanan yang dihadapi, ada kompartemen strategis yang
menghadapi mulai dari isu kejahatan di laut, perbatasan hingga isu militer
konvensional, namun terdapat juga kompartemen strategis yang (hanya)
menghadapi isu perbatasan dan isu militer konvensional.
Dengan mengacu pada
pertimbangan konfigurasi geografis dan perkembangan lingkungan strategis, strategi
pertahanan yang akan diterapkan pada masing-masing Kowilhan akan
berbeda. Perbedaan strategi itu pada tingkat operasional akan memunculkan
peran suatu matra TNI yang lebih besar dibandingkan matra lainnya pada
masing-masing Kowilhan yang berbeda.
Pertanyaannya, seberapa
besar kondisi obyektif itu mendapat porsi dalam pembagian area of responsibility......? Ataukah pertimbangan kondisi obyektif
akan diskenariokan sedemikian rupa sehingga yang mengedepan adalah “pertimbangan subyektif”....!!!. Apabila
berpikir dalam kerangka kepentingan nasional, pertimbangan obyektif harus lebih
mewarnai dalam pembagian area of
responsibility.
Kemudian soal hubungan
Kowilgab/Kodahan/Kowilhan dengan Mabes TNI. Kalau nantinya Mabes TNI akan
membawahi Kowilgab/Kodahan/Kowilhan, berarti organisasi itu merupakan Kotama
Ops Mabes TNI. Kalau hal itu terjadi, sepertinya tak terhindarkan terjadinya
duplikasi dengan unsur-unsur Kotama Ops yang sudah eksis saat ini seperti
Kodam, Komando Armada Kawasan dan Koopsau. Duplikasi terjadi pada area of responsibility dan chain of command yang berdampak pada
penyiapan dukungan logistik.
Padahal Kodam, Komando
Armada Kawasan dan Koopsau statusnya juga Kotama Ops. Dari sini tercermin bahwa
ada duplikasi antar Kotama Ops dengan dibentuknya Kowilgab/Kodahan/Kowilhan, di
mana satu Kotama Ops membawahi Kotama Ops lainnya. Duplikasi akan terhindari
apabila Kowilgab/Kodahan/Kowilhan berfungsi sebagai Kotama Ops Departemen
Pertahanan dan bukan sebagai Kotama Ops Mabes TNI.
Apabila
Kowilgab/Kodahan/Kowilhan dipaksakan eksistensinya di bawah Mabes TNI, ada
beberapa kemungkinan arsitektur pengorganisasian Kotama Ops TNI, yaitu (i)
duplikasi seperti telah disebutkan sebelumnya, atau (ii) Kotama Ops yang ada
saat ini harus direorganisasi atau dilikuidasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar