Uninesia, Jakarta - Dalam
tulisan sebelumnya yaitu ‘Operasi
Gabungan”, pertanyaan yang belum terjawab adalah bagaimana langkah kita
menuju agar budaya gabungan di TNI tercipta......?. Yang pasti budaya gabungan
tidak bisa tercipta dengan “integrasi”
ala ABRI yang hingga kini masih diteruskan oleh TNI. “Integrasi” lebih banyak tidak bermanfaatnya dari manfaatnya.
Manfaatnya cuma satu, yaitu di antara para perwira ketiga matra Angkatan jalur
Akademi “saling kenal” karena pernah setahun di Magelang. Pernah beberapa tahun
lalu dipotong cuma tiga bulan di Magelang, tapi dikembalikan lagi jadi setahun.
Alasan idealisnya biar
memperkuat integrasi, padahal kita sama-sama tahu apa alasan sebenarnya.
Ha..ha..ha.. Kalau soal perkuat integrasi, kenapa taruna dari Akpol nggak
digabung sama adik-adik kita di Magelang, biar mereka tak merasa jadi FBI jaman
Edgar Hoover di republik ini.
Kerugian integrasi yaitu (i)
penanaman paradigma yang salah soal pertahanan dan militer, (ii) identitas,
ciri khas matra non darat tergerus dari awal, (iii) ada saudara tua dan muda, (iv)
tercipta integrasi semu karena hanya antar individu. Bukti bahwa integrasi
dapat dikatakan gagal adalah soal perkelahian antar satuan TNI maupun dengan
polisi. Soalnya yang berkelahi tidak pernah ikut program integrasi.
Ha..ha..ha.. Kenapa tidak kreatif tuh, bikin aja program integrasi buat tamtama
dan bintara TNI-Polri biar mereka tidak baku hantam lagi. Soal anggaran, kan
besar tuh. Ha..ha..ha..
Sebagai perbandingan, di
ADFA/Australian Defence Force Academy
di mana para kadet ketiga Angkatan satu kampus selama tiga tahun, mereka tidak
pernah tuh belajar sama-sama satu kelas. Tiap matra punya kelas masing-masing.
Paling ketemunya mereka saat pertandingan olahraga. Meski mereka cuma ketemu
pas pertandingan olahraga, tapi integrasi mereka di operasi jalan.
Bandingkan dengan kita,
dalam tiga tahun berapa kali ketemu....? Dari tiga tahun itu, setahun aja sudah
sama-sama di Magelang. Belum lagi kegiatan lain selama dua tahun. Tapi begitu
sentuh soal operasi di lapangan, yang terjadi disintegrasi. Yang ada egoisme matra yang kadang kurang
berdasar. Contoh, ada matra yang gelar operasi patroli maritim tapi tak mau di
bawah kodal Angkatan Laut. Padahal di mana pun di dunia, operasi patroli
maritim adalah domain Angkatan Laut, sehingga keterlibatan pihak lain boleh
saja selama di bawah kodal Angkatan Laut. Sebab yang lebih tahu soal laut kan Angkatan
Laut, bukan matra lain.
Sekarang lihat
doktrin-doktrin kita, baik itu doktrin dasar maupun doktrin pelaksanaan.
Mencerminkan tidak hasil dari integrasi ala Magelang....? Kenyataannya
tidak, kita belum punya doktrin Operasi Gabungan (opsgab). Yang ada doktrin
matra yang kurang tepat kalau dijadikan dasar opsgab.
Terus bagaimana kita
membangun budaya opsgab....? Pertama,
lupakan paradigma lama integrasi. Integrasi itu yang utama bukan di pendidikan
pembentukan perwira, tapi dalam operasi di lapangan. Buktinya banyak. Di negeri
paman Sam, tidak ada integrasi akademi. Semua Angkatan jalan sendiri-sendiri, U.S. Navy di Annapolis, U.S. Army di West Point dan U.S. Air Force di Colorado
Spring. Mereka cuma ketemu antara lain di pertandingan American football.
Di situ, tim U.S. Naval Academy pakai kaos yang
tulisannya Beat Army...!!! Para
suporter juga bawa poster bertuliskan Beat
Army, serta teriakkan Beat Army...!!!
Dan yang pakai kaos Beat Army bukan
cuma para kadet, bahkan flag officers
U.S. Navy juga pakai kaos itu, termasuk Admiral
Mike Mullen yang jabat Chairman, U.S. Joint Chief of Staff. Dan
kenyataannya para kadet West Point tidak
marah tuh, tidak tawuran sama kadet Annapolis
gara-gara Beat Army. Top brass U.S. Army juga tidak marah
sama flag officers U.S. Navy soal
itu. Kalau di sini gimana yah kalau kita teriak Beat Army......? Ha..ha..ha...
Ngomong-ngomong soal Beat Army, memang tim U.S. Naval Academy jagonya American football di antara ketiga
Akademi dan saat ini mereka juara bertahan. Dan memang dalam final seringkali
mereka memang selalu “Beat Army”.
Kedua,
ubah doktrin dan konsep operasi menjadi doktrin dan konsep gabungan. Gabungan
di sini harus dipahami setidaknya dua Angkatan. Jadi kalau untuk operasi
maritim misalnya, Angkatan Darat tak perlu sewot bila tak terlibat karena itu
domainnya Angkatan Laut plus didukung Angkatan
Udara. Kalau mandala operasinya didominasi oleh domain maritim, Angkatan lain
harus tulus tidak bisa jadi Panglima Mandala. Jangan ngotot kayak dalam salah
satu bagian dari sejarah kita. Untuk ops hanud, mungkin keterlibatan Angkatan Laut
tak terlalu banyak.
Ketiga,
kurikulum. Jadi dalam tiap jenjang pendidikan perwira, sebaiknya mereka sudah
ditanamkan pemahaman tetap opsgab itu. Bentuknya yah dalam kurikulum, yang mana
kurikulumnya selain menekankan kekhasan matra laut, juga diimbangi dengan
imperatifnya opsgab di masa kini dan mendatang. Mungkin mulai dari Pendidikan
Lanjutan Perwira (Diklapa) II, walaupun aplikasinya baru mereka dapatkan ketika
latihan gabungan. Setidaknya itulah yang dipraktekkan oleh negara-negara lain
dalam membangun budaya opsgab pada militer mereka.
Keempat,
ubah prasyarat opsgab. Saat ini prasyarat opsgab adalah keselamatan negara
terancam. Jadi kalau keselamatan negara tak terancam bagaimana, tak bisa gelar
opsgab....???. Prasyarat demikian sudah ketinggalan jaman.
Kelima,
bubarkan Mabes TNI. Organisasi Mabes TNI saat ini tidak dapat disebut sebagai
Markas Gabungan, meskipun organisasi itu diisi oleh ketiga matra TNI, karena
karakteristiknya belum mencerminkan gabungan dalam arti sebenarnya.
Yang diperlukan adalah
transformasi organisasi menjadi Joint Staff
dalam arti sesungguhnya. Joint staff
bukanlah organisasi super seperti Mabes TNI saat ini, karena sebagian
kewenangan Mabes TNI memang harus dialihkan ke Departemen Pertahanan. Opsgab
dirancang oleh joint staff, namun
pelaksanaannya oleh Panglima Mandala yang bertanggung jawab langsung ke Menteri
Pertahanan. Joint staff hanya
mensupervisi saja operasi gabungan, tetapi tak punya wewenang kodal.
Setidaknya lima langkah itu
untuk tumbuhkan budaya opsgab di militer kita. Kata kuncinya adalah paradigm shift.....!!! Ini era RMA, bukan era
Perang Dunia Kedua. Jadi doktrin kita, latihan kita, operasi kita jangan lagi
contek ala Normandia dan Okinawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar